Puisi


Majas

Indah langsung merangsek ke kursi teras sesampainya di rumah. Dari dalam tas buru-buru diambilnya sebuah majalah. Masih rapi dibungkus plastik. Majalah yang terbit dua bulan sekali itu adalah majalah sekolahnya alias majas.

Majas dibagikan menjelang bel pulang tadi. Indah nggak sabar untuk menilik content edisi kali ini. Jantungnya berdebar ingin tahu, akan dimuat seperti apa liputan pensi yang telah ia selesaikan. Sebenarnya, sebelum turun cetak bias saja ia pastikan langsung ke ruang majas. Tapi lebih asyik meneliti sendiri lembar demi lembarnya, ditemani sejuta rasa penasaran.

Berturut-turut diperhatikannya judul-judul menu utama pada cover depan. Indah merasakan darahnya berhenti mengalir saat melihat tulisan di bagian kanan bawah: “Liputan Khusus Pensi Sekolah Kita”.

“Ini dia!” soraknya serta-merta.

Dari daftar isi, segera dibolak-baliknya majas sampai ketemu halaman liputan khusus. Kalau benar dimuat, berarti tugas pertamanya sebagai kontributor terbilang sukses.

Tapi rupanya nggak semudah itu untuk menepuk dada. Indah lemas pas tahu, yang dimuat ternyata bukan tulisannya. Di sana tertera Liputan Khusus: Ngintip Belakang Panggungnya Pensi, Yuk! Oleh: Mita Fauzia.

***

“Jangan curang gitu dong!” protes Indah lewat telepon.

Margo, pemred majas, nggak terima. “Maksud lo? Jangan asal nuduh lah.”

“Liputan pensi kan udah ditugasin ke gue. Kenapa lo kasih ke orang lain juga?”

“Nggak,” sanggah Margo. “Cuma, ada beberapa yang inisiatif bikin liputan yang sama.”

“Percuma dong jadi kontributor,” tantang Indah.

“Ndah, kita berusaha tetap adil. Dan setelah dibanding-bandingin, maaf ya, liputan Mita yang paling menarik.”

Indah makin sewot. “Itu sih namanya ngerebut lahan orang.”

“Lahan gue ding,” koreksi Indah.

Margo nggak mau kalah. “Justru sebagai kontributor harusnya lo bisa bersaing sama dia dong.”

“Maksud lo apa?” kali ini Indah ngerasa dipojokkan. “Lo mau bilang gue nggak becus, hah? Kalo redaksi nggak pilih kasih juga nggak begini. Masa tiga edisi berturut-turut tulisan dia selalu dimuat!”

“Gini deh, Ndah. Gue nggak mau debat kusir sama lo.” Margo berhenti sebentar. “Majas didirikan sebagai wadah kreatifitas kita di bidang penulisan. Bagusnya sih semua tulisan dimuat. Tapi kan jumlah halamannya terbatas, jadinya yang dipilih cuma yang terbaik.”

“Aaaahhh basi! Pasti lo ada maksud lain sama tuh anak kelas satu.”

Brak! Gagang telepon dibanting.

“Kenapa lagi lo?” terdengar suara Bang Andi.

Indah malas menanggapi. Paling-paling reaksinya nggak jauh dari, “Udah, lo sabar aja.” Kalo nggak, “Lo juga sih yang salah!”

“Gagal lagi masuk majas?” lanjut Bang Andi. “Sabar aja. Semua ada hikmahnya.”

Huh! Nggak ada omongan lain apa?! batin Indah.

“Kalo sabar pasti semuanya beres.”

Indah justru jadi nggak sabar ngedengerin nasehat Bang Andi. “Sabar gimana? Masa tulisan anak kelas satu nyisihin liputan gue.”

“Masa sih? Lo kudu berguru tuh sama dia.”

“Nggak lucu.” Muka Indah ditekuk abis-abisan.

“Yah, ini anak. Maksud gue tulisan dia,” jelas Bang Andi. “Udah dibanding-bandingin belum? Bedanya di mana?”

“Tahu ah! Bodoh amat.”

Indah langsung nyelosor masuk kamar.

***

Indah nggak pernah lagi mampir ke ruang majas. Terakhir, ia memutuskan ngundurin diri sebagai kontributor. Ia menemui Rini, wakil pemred. Kepada Rini dijelaskan alasan pengunduran dirinya. Rini kaget.

“Tapi kita masih butuh lo,” ujarnya.

“Udah deh. Nggak usah menghibur gue.”

Rini jadi simpati. Ia tahu Indah cuma lagi patah semangat. Bukan benar-benar pingin ngundurin diri. Maka keesokannya, pada jam istirahat, sengaja ditemuinya Indah sekali lagi. Indah sedang sendirian di kelas.

“Boleh duduk, nggak?”

Nggak ada tanggapan.

“Ehem…begini,” Rini membuka pembicaraan. “Gue udah ngomongin pengunduran diri lo ke teman-teman.”

“Kemarin udah clear kan.”

“Mm…tunggu dulu, Ndah.”

“Apaan lagi sih?”

“Dengar ya. Lo dan beberapa yang lain, Ndah, itu kontributor. Sedangkan gue dan teman-teman adalah redaksi. Gimana pun kita ini satu tim. Kalo sesekali muncul masalah itu biasa.”

“Kita harus cari jalan keluarnya sama-sama,” lanjut Rini.

“Udah ceramahnya? Gue ngantuk.”

“Oke, oke. Kalo lo tetap mau berhenti. Tapi sebelumnya, kita pingin lo selesaiin satu tugas dulu.”

“Gue…nggak…mau…titik.”

“Indah.” Rini nahan jengkel.

“Suruh aja the shadow contributor kesayangan redaksi itu!”

“Itu dia!” seru Rini seperti mendapat titik terang. “Justru kita mau lo wawancarain dia.”

“Hah?” alis Indah naik. “Nggak, nggak.”

“Buat cover story edisi depan. Temanya seputar tulisan-tulisan dia yang muncul tiga edisi di majas kita. Itu kan fenomenal. Gimana?”

Indah bergeming.

“Gue janji kerjaan lo kali ini bakal dimuat. Swear!”

Indah bimbang sampai di situ.

***

Sepanjang hari itu ditimbang-timbangnya tawaran Rini. Cukup berat buat menerimanya. Tapi sayang juga ngelewatin kesempatan kayak gini, sebab Rini janji akan memuatnya pada majas edisi mendatang.

Akhirnya tawaran itu diambil juga. Indah tanggalkan perasaan gengsi terhadap si adik kelas. Waktu luang dimanfaatkan buat membaca tulisan-tulisan Mita, sebelum melakukan wawancara. Dan anehnya, makin dibaca makin keliatan perbedaannya dengan tulisannya.

Pada liputan pensi kemarin misalnya. Indah jadi sadar, acara itu ia tuliskan datar saja. Sementara Mita memilih angle yang unik. Mita menyorot pensi dari belakang panggung dan mewawancarai langsung beberapa pengisi acara. Indah lantas berpikir, pantas kalau Ngintip Belakang Panggungnya Pensi, Yuk! –nya Mita menyisihkan liputan yang ia buat.

“Jadi apa nih resepnya, bisa rutin muncul di majas kita?” Indah membacakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya.

“Mmm…apa yaa…”

“Nyogok kali,” celetuk Indah memecah kebekuan.

“Hehehe. Enak aja. Yaa…rajin-rajin latihan aja sih kalo menurut saya.”

“Misalnya?”

“Yang paling gampang sih,” Mita menimbang sejenak, “nulis catatan harian. Diary gitu deh.”

“Oh, diary ngaruh ya, Mit.” Nampak Indah mulai berminat. Lalu spontan di luar list of questions, “Sejak kapan nulis diary?”

“Kalo saya udah dari SD. He’eh, ngaruh banget Kak.”

Dari tugas wawancara itu banyak yang dipelajari Indah. Beberapa tips Mita diam-diam ia praktekkan juga. Selain cover story, ia berhasil menyelesaikan beberapa artikel. Perlahan semangatnya tumbuh lagi.

Di ruang majas, Rini kaget sekaligus lega. Indah mengerjakan tugas dengan baik. Artikelnya juga telah jauh berkembang. Redaksi setuju memuat keduanya. Saat dihampiri Margo, Rini melemparkan senyum. Tugas wawancara akal-akalan yang mereka buat telah membuahkan hasil. Berkat tugas itu, secara nggak sadar Indah udah mau ngebuka diri untuk belajar sedikit kepada Mita.

Dan ketika majas terbit nanti, Indah pasti meloncat bahagia. Sebab untuk pertama kali namanya akan muncul di sana. Bukan karena Rini atau tim redaksi lain merasa kasihan. Tapi lantaran keberaniannya sendiri untuk membuang jauh-jauh rasa gengsi berguru kepada Mita si adik kelas.

-dimuat di Majalah Kawanku-


Kawanku Sendiri di Taman

Saat awan hitam mengintai
aku berlari meninggalkanmu
Telah kukerek tubuhmu tinggi di dahan pohon
Dan telah datang burung-burung menyambutmu seperti karib lama
Membawamu terbang mengintip peri-peri
yang tak habisnya bercanda
yang berkumpul entah di atas mana

Tapi kini aku ragu:
adakah kau telah terbang bersama burung-burung
merdeka dari tubuhmu
atau sendiri sepi tererayun-ayun di atas pohon di taman itu?

Di keremangan malam
Sambil menurunkan jasadmu yang beku diguyur hujan
aku terkenang obrolan terakhir kita:
-Tahukah kau apa itu hujan?
-Kau sinting, semua orang tahu
-Semua orang sinting. Aku bertanya padamu
Aku diam
Katamu:
Di atas sana ada peri-peri merajut pelangi
Mereka ceroboh dan suka bercanda hingga jarum-jarum itu
berjatuhan ke bumi
ke atap-atap rumah kita
lalu kita sebut hujan
Kadang mereka selesai merajut pelangi, dan
anak-anak kita melonjak riang menyaksikannya
Lebih sering mereka gagal merajutnya

Kau sinting, kawan
Aku hanya melihat jasadmu yang tergantung
Dan kau sendiri di sana

-dimuat di Kompas.com-


Waktu

Kawanku mengikut dari pagi seperti kesenyapan yang berputar-putar di rahim ibu ketika aku masih sebagai janin. Suara tangisnya di antara nafas dan darahku.
Kawanku lahir pertama.
Ia waktu.

-dimuat di Kompas.com-


Sajak Sebelum Menikah

Timbunan rontok
Bara biru
Me
n
e
te
s
,
,
________
di hati

Racun hitam
Kidung malam
Lampu jalan mewarnai sunyi
Menghunuskan belati
Mau memburai kota mati

‘Isa yang masih hidup
aku ingin mendulang arif
Menerima sejarah yang bertashrif
Seperti kau jalani
hidup yang hanif

-dimuat di Kompas.com-


Di Bangku Taman

Taman ini tidak pernah berubah. Daun ketapang yang berserakan di sepanjang trotoar, burung gereja yang terbang menyongsong pagi, sapaan hangat pengunjung pada saat bertemu pandang, masih sama seperti yang pernah kurekam di dalam ingatan.

Aku duduk di bangku kayu lalu merogoh tisu di dalam saku. Ada remah-remah roti yang sengaja kubawa dari hotel untuk kusebarkan di dekat kaki, seperti yang biasa dilakukan Leila dahulu. Lalu kudengarkan sorak gadis itu di dalam kenangan ketika jalak dan merpati satu per satu hinggap ke atas tanah mencucuki remah-remah di antara kaki mungilnya.

Mungkin semalam hujan. Bangku yang kududuki agak lembab sehingga warnanya menjadi semakin gelap. Saat bersandar, aku merasakan titik-titik air di sekitar punggung, yang meresap melalui kaus coklat yang kukenakan. Kepalaku terasa pening. Sejak pesawat tinggal landas, mataku memang tak bisa terpejam.

”Kau harus datang, kau mengerti, Ron?” kata Leila lewat e-mail tempo hari, menutup kabar pernikahannya yang seketika membuat pikiranku tak karuan.

Beberapa pengunjung taman yang melintas di hadapanku melemparkan senyum. Seorang lelaki paruh baya terengah-engah hingga bahunya turun naik dengan cepat. Ia lalu duduk di sampingku.

”Apa kabar?” sapanya sambil mengelap keringat di wajah dan tengkuk lehernya.

”Tidak begitu baik,” kataku, namun tetap berusaha menyembunyikan perasaanku.

Ia terkesiap. Kemudian mengalihkan pandangannya dari wajahku. ”Tentu, cuaca tidak terlalu bagus belakangan ini ya?”

”Bukan, bukan itu. Kekasihku akan menikah.”

Kata-kata itu meluncur saja dari lidahku.

”Benarkah? Ia berkhianat?”

”Tidak, tidak seperti itu.”

Entah mengapa, aku merasa perlu menjelaskan sesuatu kepada lelaki yang baru kukenal itu. Leila tidak pernah mengkhianatiku, kataku sedikit tersinggung. Ia hanya terjebak oleh keadaan, tapi tetap mencintaiku. Maksudku, ibunya menginginkannya menerima pria lain yang datang melamar, sementara aku masih tak dapat memberinya kepastian-kepastian. Kami merentang jarak begitu jauh sehingga timbul keraguan di pihak keluarganya.

Tapi memang sama saja. Semua orang bisa menganggap Leila berkhianat, sedangkan aku tetap bertahan dengan penilaianku sendiri.

Lelaki itu beranjak meninggalkanku. Kulihat seorang wanita tua melambaikan tangan ke arahnya. Aku bergumul lagi dengan kenangan sambil membayangkan Leila di sana, melambaikan tangannya pula seperti wanita itu.

***

Mataku perih sekali. Seperti ada pasir yang bergesekan di antara kelopak dan bola mata. Meskipun sudah lelah, aku tetap tak bisa memaksanya terpejam.

Akhirnya kuputuskan pergi ke luar. Kupakai sweater ungu hadiah dari Leila pada ulang tahunku yang lalu. Ia bangga menuliskan pada secarik kertas yang diselipkan di antara lipatannya, ”Beli di Tanah Abang. Dikirim buat Abang di negeri seberang. Leila.” Dadaku berdesir mengingatnya. Bahan sweater ini tebal. Cukup hangat untuk dipakai ke luar asrama. Modelnya juga aku suka. Teman sekamarku yang sama berasal dari Indonesia berkelakar, ”Embargo, embargo Tanah Abang, ha-ha-ha-ha.”

Tadinya aku hendak kembali ke taman. Namun, kukira jalan menuju ke sana terlalu gelap. Lagi pula malam ini pasti banyak pasangan muda-mudi yang duduk-duduk di situ. Aku hanya akan terjebak dalam kenangan demi kenangan bersama Leila.

Kakiku, tanpa kepastian hendak berjalan ke mana, terasa kian lemah. Tapi aku tak ingin segera kembali ke hotel. Sekonyong- konyong, kuhentikan taksi pertama yang melintas. Aku duduk di depan. Tiba-tiba saja aku ingin diantarkan ke rumah Leila. Saat kami meninggalkan jalan besar aku tersadar, malam sudah begitu larut.

Sepi sekali. Pohon-pohon di sisi jalan membentuk bayangan seram. Sedikit saja cahaya bulan yang jatuh lewat celah-celah dahannya. Suara operator taksi di pangkalan sesekali menyembul keluar lewat radio pemanggil. Seakan-akan hendak mempertegas suasana malam.

Kaca mobil kuturunkan dan angin berembus lembut di keningku. Kamar Leila, yang berada di lantai dua dan langsung menghadap pagar, tampak masih terang. Tirai jendela sudah ditutup. Suara handphone mengagetkan aku.

”Sudah landing? Atau tidak datang? Kau jahat!” Pengirimnya Leila. Belum sempat kubalas, masuk satu pesan lagi. ”Aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya. Jemput aku pagi-pagi sekali, Ron! Aku tahu kau akan datang. Kau akan membawaku pergi, kan?”

Dadaku berdeburan rindu. Aku tak tahu bagaimana harus mengatasi diriku. Kucoba memejamkan mata hingga kedua kelopaknya mengerut sambil memerintahkan si sopir untuk membawaku kembali ke hotel.

Rupanya aku tertidur sepanjang perjalanan pulang. Sopir membangunkanku ketika taksi sampai di depan hotel.

Saat itu kusadari, sosok yang sejak tadi duduk di sampingku adalah seorang perempuan.

***

Namanya Dina. Ia bukan wanita yang ramah. Namun, jika kau memerhatikan caranya duduk selama menungguku di lobi hotel, kau akan terkesima. Dina lebih anggun dari siapa pun yang pernah kukenal, kecuali Leila tentunya.

Aku terlambat menemui Dina karena terlampau lelap tertidur. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul setengah sepuluh. Ia menampakkan mimik geram dan aku segera meminta maaf. Lagi pula aku heran, bagaimana ia bisa datang tepat waktu, padahal semalam masih membawa taksi. Tapi aku tak mau menyinggung masalah itu. Aku cukup memerhatikan matanya yang merah untuk mengerti bahwa Dina, selain anggun dan tidak ramah, adalah tipikal orang yang menepati janji.

Aku mengajaknya sarapan di luar. Ya, kau benar, aku mengajaknya ke taman itu. ”Leila senang bila kuajak makan bubur di sini,” kataku membuka pembicaraan. Dina tak menanggapi sepatah kata pun dan kami berdiam sampai bubur yang kami pesan dicicipinya.

”Rasanya biasa,” ujarnya heran.

”Tidak, bukan soal rasa.”

Aku sengaja berhenti di situ untuk memerhatikan responsnya.

”Leila senang memerhatikan penjualnya,” lanjutku. ”Coba tengok!”

Kutuntun matanya ke arah pasangan tua itu. Dari tempat duduk, kami, setidaknya aku, merasakan hangatnya cinta mereka berdua. Sementara si kakek melayani pembeli, istrinya membersihkan piring, gelas, dan sendok. Sesekali ia menyeka keringat di kening istrinya dengan ibu jarinya, lalu keduanya saling tersenyum.

Dina berdiam diri untuk memberiku kesempatan berbicara.

Kami tumbuh di keluarga yang tidak sempurna, kataku mulai bercerita. Ibuku bukan wanita yang baik. Ia pergi dari rumah demi memilih kesenangan yang dijanjikan pria kaya yang ditemuinya dalam suatu perjalanan. Ayah Leila pun demikian, jatuh ke pelukan perempuan tidak terhormat yang sejak itu menghunjamkan kecemasan di lubuk hatinya. Kami menemukan sebagian diri kami satu sama lain. Sejak menyadarinya, aku merasa ia adalah perempuan yang dapat kupercaya. Demikian pula, barangkali ia merasa nyaman untuk memercayaiku sebagai kekasihnya.

Dina memerhatikan penjual bubur itu lagi. Entah apa yang ia pikirkan ketika kukatakan kepadanya: aku dan Leila senantiasa mendapati bayangan diri kami muncul pada siluet pasangan tua itu.

Sebagian hari itu kami habiskan untuk berbelanja. Aku membelikannya pakaian untuk ia kenakan pada resepsi pernikahan malam harinya. Aku, yang merasa akan kesulitan mengendalikan sikap bila bertemu Leila, membayar Dina untuk pertolongan ini.

Sampai saat itu, aku belum menjawab SMS dari Leila, yang memintaku untuk membawa pergi dirinya. Beberapa telepon darinya juga tidak kuangkat. Atas saran Dina, kuurungkan pula niat untuk menghubunginya sebelum berangkat meski sekadar mengucapkan semacam perkataan, ”Aku akan datang.”

Ya, akhirnya kami datang juga ’kan? Dari pintu masuk kulihat kau berdiri di samping Leila. Menyalami undangan yang datang seraya mengembangkan senyum yang santun. Pakaian kalian bagus sekali. Kau pandai memilihkan Leila gaun pengantin yang baik.

”Selamat ya, Mas,” kata Dina kepadamu setelah memerhatikanku kesulitan mengucapkan sepatah kata pun.

Sebelum meninggalkan pesta, sempat kusaksikan kau merangkul Leila yang berlinang air mata. Tapi kau pun tak perlu cemas. Aku tumbuh di keluarga tak sempurna yang telah jauh-jauh hari mengajarkan sesuatu kepadaku. Aku takkan mengganggumu.

***

Sesuatu telah menuntunku kembali ke taman ini. Aku duduk di bangku seorang diri sambil merogoh tisu di dalam saku. Ada remah makanan yang sengaja kubawa dari acara resepsimu untuk kusebarkan lagi di dekat kakiku, seperti yang biasa dilakukan Leila dahulu. Lalu kudengarkan sorak gadis itu di dalam kenangan ketika burung-burung satu per satu hinggap ke atas tanah mencucuki remah-remah di antara kaki-kakiku. Kubayangkan juga ngilu di hatimu saat membaca kertas- kertas, yang kutinggalkan di bangku taman ini. Itu pula ngilu hatiku.

Jalak dan merpati setia menemaniku hingga pagi nanti sebelum pengunjung taman satu per satu berdatangan lagi dan salah seorang di antara mereka yang hendak duduk-duduk di bangku ini kemudian menjerit, ”Mayat! Ada mayat!”

Sudahkah tulisan ini sampai ke tanganmu?

-dimuat di Kompas-


Kenangan Erasmus

pada raga yang lelah
aku ingin meniupkan seleret kata
sebuah sajak biasa

pada ragamu yang telah
menerang jalan
sepanjang erasmus
yang berkilau benderang
membentang
menelanjangi gemuruh dan yang rindu
bukankah
selalu kaulihat percik itu
tetap ada?

dan daundaun yang jatuh saat burungburung terbang
melintas getir keheningan adalah pertanda
: sebentar lagi ranum bungabunga
barakan semangat
menjadi darah dan jangat


Nyanyian Ibu

Saat merajut, ibu senang menyanyikan
lagu yang diajarkan ayah dahulu
kepadaku, tentang prajurit yang jadi kecil dilibas deru dan murka
senapan dan tanktank durhaka
tetapi tak pernah lipur dari keningnya yang luka
: janji menjaga diri dan pulang ke desa

Lagu itu, dinyanyikan kembali olehnya
dalam bahasa bumi
dalam kuntumkuntum sepi

Bila merah terasa makin darah
dan nganga jadi lebih luka
suara menerbangkan jelma puisi
berkepakkepak
berdamaidamai yang hangat
mengepul dan berhias di langit kalbu


Mengulas Cerpen “Kaki Yang Terhormat”

“Bila ada peribahasa berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, maka Anda boleh yakin, hanya penggal terakhirlah yang penting bagi nenek saya,” demikian ditulis oleh Gus tf Sakai dalam cerpen “Kaki Yang Terhormat”. Silakan klik di sini untuk membaca cerita ini terlebih dahulu.

Nenek yang dikisahkan di sini sangat percaya bahwa kaki adalah penentu kehidupan dirinya, dan karenanya pula dipercayainya berlaku juga bagi setiap insan. Dikisahkan, nenek, yang biasa dipanggil dengan sapaan Ine oleh tokoh utama, sewaktu muda sering naik ke bukit. Tentu saja berlajan kaki menyusuri jalan mendaki dan berbatu. Atas motivasi apa Ine muda melakukan itu?

Kata Ine, “… karena di situlah peruntungan Ine.”

Ine tidak melakukannya karena terpaksa, misalnya diperintahkan ikut mendaki untuk memotong ranting bersama saudara-saudaranya. Ine juga tidak mendaki bukit demi kesukaan belaka. Dalam kisah ini, boleh jadi Ine melakukannya untuk mengejar tujuan yang jelas: peruntungan. Bukan karena terpaksa, mengandung pengertian bahwa kegiatan itu dilakukannya dengan kehendak bebas. Bukan karena kesukaan, mengandung pengertian bahwa ia mengerti keuntungan yang akan ia peroleh dari rutinitas yang perlu dijalaninya itu.

Ini menarik untuk digali. Bukankah dalam kecenderungan itu tersirat gambaran kehendak bebas untuk mencapai tujuan? Gus tf Sakai menggunakan simbol kaki untuk merepresentasikan kuasa itu. Ine, dengan demikian, adalah sosok yang sangat percaya bahwa setiap insan memiliki kuasa membawa kehidupan masing-masing, entah ke puncak kebahagiaan atau ke dalam palung kesengsaraan. Boleh jadi pula, dengan dasar itu Ine dapat berkata, kaki adalah bagian tubuh yang paling penting. Ketika Ine “… mengangkat sebelah kaki, dengan telunjuk menukik lurus ke bawah”, saya membayangkannya sedang berusaha untuk semakin menyadari besarnya potensi kuasa itu.

* * *
“Kaki Yang Terhormat”, demikian judul cerpen ini. Judul yang dibuat rinci (bukan “Kaki” saja”) barangkali sengaja digunakan untuk mempertegas bahwa ada juga kaki yang tidak terhormat.

Ketika Mak Etek Harun pergi kuliah ke Jakarta, Ine berujar, ”Kakilah yang menentukan hidup seseorang akan seperti apa. Dan kaki itu kini telah membawa Mak Etek kalian ke Jakarta.” Pada titik ini kehendak Mak Etek untuk melanjutkan pendidikan di ibu kota adalah sesuatu yang terpuji: kakinya terhormat.

Sampai akhirnya terdengar kabar dari seseorang di kampung sebelah yang merantau ke Jakarta: di Jakarta, Mak Etek ke mana-mana naik helikopter! Dikisahkan bahwa orang-orang takjub bukan kepalang. Namun, saat semua orang di kampung menanti kepulangannya, yang kabarnya mau membangun pabrik semen di sana, beredarlah “berita besar (yang) menghantam bagai geledek: Harun terlibat kasus korupsi.” Pada bagian ini Gus tf Sakai menuntaskan penggambaran atas sosok Ine beserta pendapatnya mengenai kaki. Ia menulis:

“Kau tahu apa sebenarnya yang membuat Mak Etekmu celaka?”

Saya menarik kepala. Memandang bibir krumput nenek lalu menggeleng.

”Karena ia tak lagi menggunakan kakinya. Karena ke mana-mana hanya dengan kendaraan, di atas helikopter itu saja.”

Ungkapan itu, ungkapan ”karena ia tak lagi menggunakan kakinya, ke mana-mana hanya dengan kendaraan” menjadi penggambaran utuh tentang gagasan ine, khususnya tentang kaki atau kuasa. Ruang pemaknaannya sangat luas, tetapi ungkapan ini setidaknya dapat menyiratkan bahwa ketika insan tidak menggunakan kuasanya untuk membendung keinginan yang beraneka rupa, mereka akan terbawa di atas keinginan-keinganannya (yang disimbolkan dengan kendaraan). Mereka niscaya akan celaka.

Menurut saya, Ine adalah simbol kesederhanaan. Ia tampak sengaja digambarkan dalam karakter nenek untuk mengingatkan: yang sederhana itu sudah menjadi semakin “tua” dan “rapuh” di zaman modern ini.

Agus
8/1/10


Ziarah: Fiksi Mini

Saya senang baca fiksi mini di halaman agusnoorfiles.wordpress.com. Di situ ada penjelasan tentang segi estetika jenis cerita ini. Cukup lengkap sih.

Berikut fiksi mini yang kemudian saya coba tulis.

Ziarah
Dering ponsel mengejutkanku saat sedang menyiram tanah makam nenek.
“Sampai juga kau akhirnya.”
“Siapa ini?”
“Nenek!”


Tips Menghilangkan Cegukan

Teman-teman pasti pernah mengalami cegukan. Mitosnya, cegukan karena kurang minum air setelah makan yang kering-kering. Beragam cara diklaim bisa menghilangkan penyakit dadakan yang satu ini.

Ada yang bilang, cegukan bisa hilang dengan banyak minum. Yang ada malah perut jadi kembung tapi cegukan nggak hilang juga. Ada lagi cara yang kadang berhasil kadang gagal. Sama sih, minum juga, tapi yang ini minum sambil memalingkan wajah ke kanan supaya urat di leher tertekan ketika air masuk melewati kerongkongan.

Yang rada aneh, anjuran untuk tahan napas yang lama.

Sekadar sharing, cegukan bisa dihilangkan dengan menghirup karbon dioksida. Alasannya, cegukan adalah sinyal yang diberikan tubuh ketika di dalam kekurangan karbon dioksida. Udah dicoba dan bener lho berhasil. Ambil aja kantung plastik kecil dan tiupkan nafas ke dalamnya kemudian hirup lagi udara di dalam kantung plastik itu. Atau cukup dengan menghalau nafas yang dikeluarkan lewat mulut dengan telapak tangan dan menghisapnya lagi lewat hidung.

Selamat mencoba, semoga bermanfaat.